Memanusiakan Pahlawan

Sabtu, 26 Desember 2009

Memanusiakan Pahlawan
“Pahlawan tak pernah dilahirkan, tapi diciptakan”
oleh Aufannuha Ihsani

Bagaimana seorang pahlawan menjadi pahlawan? Dalam kisah-kisah Mahabharata, misalnya. Kita membaca sosok Gatotkaca yang ajal di angkasa, Irawan yang mati sebab lehernya dipatahkan oleh Srenggi, atau Abimanyu yang terpenggal kepalanya sehabis tubuhnya bersimbah darah. Adakah mereka semua pahlawan? Jika demikian, pahlawan mesti tewas sebelum dianugerahi gelar itu. Dan sebuah definisi kemudian akan berangkat dari orang-orang yang telah mangkat.

Agak menggelikan sebenarnya, bahwa pahlawan harus mati terlebih dahulu. Dalam Keputusan Presiden tahun 1964, tertulis bahwa yang disebut pahlawan adalah orang-orang yang, meski telah berjuang bagi bangsa dan negaranya, harus tidak melakukan perbuatan yang menjadikan cela bagi perjuangannya dahulu. Kemudian dengan ini kita melihat bahwa pahlawan adalah orang-orang yang suci, yang terhindar dari segala macam nista. Dan karena itulah Bung Tomo bukan “pahlawan” di masa Orde Baru..

Namun siapa tak kenal Bung Tomo, entah lewat pelajaran SD atau novel Surabaja karangan Idrus itu? Sang agitator itu begitu membara sebelum pertempuran pecah pada 10 November. Kita ingat akan sepenggal pidatonya, yang seakan selalu membuat bergidik jika dibacakan:

“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah, yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga!”.
Ia tahu ia akan kalah, ia tahu persenjataan musuh lebih berat, dan ia sadar, yang dimilikinya hanya semangat. Seorang pahlawan, siapa pun dirinya, akan merasa gamang di satu sisi, entah pada kemenangan atau kekalahan, sementara di sisi yang lain, pada perjuangan yang belum tuntas, yang mesti diselesaikan. Terlepas adakah selebihnya, setelah perjuangan itu, hanya diam, pada akhirnya pahlawan akan memilih sisi yang kedua.

Siapakah yang menjadikan pahlawan seorang pahlawan, saya bertanya. Kita, yang menyontohnya sebagai teladan, atau para penguasa? Bung Tomo baru “resmi” jadi “pahlawan” pada tahun 2008, itu pun atas desakan Gerakan Pemuda Ansor dan Fraksi Partai Golkar kepada presiden SBY.

Sementara, yang kita tahu, bahwa hari Pahlawan yang ditetapkan tanggal 10 November itu, yang Bung Tomo sendiri ikut andil besar di dalamnya, diperingati sudah sejak lama. Ironiskah? Bung Tomo hanya melakukan satu kesalahan: ia bertindak sebagai oposisi pada rezim Soeharto. Ia dipenjara pada tahun 1978, dan setelah kematiannya pada 1981, kita kembali merenungkan apa-apa yang telah diperjuangkannya.

Maka saya pikir Zen Rs benar: “Pahlawan tak pernah dilahirkan, tapi diciptakan”. Kita pernah menonton film Enemy at the Gates itu, ketika Nikita Khrushchev bertanya pada para petugas politik di front depan di Stalingrad, apa solusi terbaik bagi para Tentara Merah. Seseorang angkat bicara, namanya Danilov. “Kita,” katanya, “butuh seorang pahlawan….”. maka dipilihlah seorang serdadu dari divisi sniper bernama Vasilli Zaitsev. Seolah artis, nama seorang serdadu itu meroket dan dibacakan pada tiap apel pagi. Ia terkenal. Tapi Vasilli kemudian sadar, bahwa bukan hanya dirinya yang pahlwan. Semuanya, semuanya juga pahlawan: para serdadu yang tewas, petugas-petugas yang menerjemahkan sandi-sandi rahasia musuh, atau bahkan rakyat sipil yang dijarah. Semuanya pahlawan. Ia merasa menjadi seseorang yang mengingkari para pahlawan tadi dengan ketenaran namanya.

Barangkali, kita butuh Vasilli Zaitsev, sebab Indonesia saat ini adalah Sovyet zaman dahulu. Bedanya, kita tidak berada pada masa genting peperangan. Maka, jangan kaget seandainya nanti ada “pahlawan-pahlawan” baru dari para penguasa. Para pahlawan yang asing, yang tak pernah kita dengar namanya sebelumnya. []

0 komentar:

Posting Komentar