Kepuasan Manusia

Jumat, 28 Agustus 2009

Kepuasan Manusia


Oleh : Kang Basith Ab

‘Kepuasan manusia adalah sebuah tujuan yang tak dapat digapai’ (Ridla an-Naas Ghayat la Tudraku). Begitulah ucapan Aktsam ibn Shaifi, seorang bijak pada masa Jahiliyah yang sempat hidup kala Rasulullah saw. diangkat menjadi rasul meski usianya telah menginjak 190 tahun.

Mungkin kita pernah mendengar cerita seorang ayah yang menuntun seekor keledai bersama anaknya menuju ke sebuah desa. Sang ayah dan anak berjalan menuntun keledai itu. Ketika mereka sampai di desa pertama, para penduduk berkomentar :” Alangkah tidak bijaknya orang ini, anaknya yang masih kecil ia suruh berjalan, sementara keledainya ia biarkan begitu saja tanpa penumpang.” Mendengar komentar ini, sang ayah lalu menaikkan anaknya ke punggung keledai tersebut. Ketika sampai pada sebuah desa yang lain, orang-orang berkomentar. “Betapa anak ini tidak punya tatakrama pada orangtuanya. Bagaimana tidak, ayahnya ia suruh berjalan, sementara ia enak-enakan naik di atas keledai.” Mendengar komentar ini, sang ayah meminta anaknya turun dan ganti ia yang naik ke punggung keledainya.

Ketika sampai di desa berikutnya, penduduk setempat berkomentar.” Benar-benar ayah yang tidak punya belas kasihan, ia enak-enakan naik keledai, sementara anaknya ia suruh berjalan.” Mendengar komentar tadi, sang ayah meminta anaknya untuk ikut naik serta di atas punggung keledai. Sampai di desa berikutnya, orang-orang setempat berkomentar;” Betapa orang ini tidak punya perikehewanan, keledai satu dinaiki dua orang sekaligus.” Mendengar komentar ini, sang ayah jengkel. Ia meminta anaknya turun dan ia pun menggendong atau memanggul keledainya itu. Sesampainya di desa tujuan, ia ditertawakan banyak orang, bagaimana tidak, keledai yang masih sehat ia panggul bukan ia naiki atau tuntun.

Begitulah kira-kira yang dihadapi oleh sebagian orang-orang yang kebetulan saat ini di beri amanah untuk memimpin berbagai lembaga yang ada di pondok kita ini. Penulis yakin pada benak setiap mereka ada sebuah impian besar yang ingin ia torehkan dalam sejarah Wahid Hasyim. “

Setiap prestasi besar berawal dari angan-angan atau utopia” Begitu kata Arkoun dalam sebuah bukunya. Tapi mewujudkan sebuah impian besar itu bukanlah hal yang mudah, berbagai komentar, penentangan (meski tak sempat terucap), cibiran, ketidakpuasan-sebagaimana penonton sepakbola yang geram karena team andalannya belum juga mencetak gol di gawang lawan padahal kesempatan datang tidak hanya sekali-adalah hal biasa yang mesti dihadapi dengan senyuman (kecuali bagi yang sariawan, sakit gigi atau patah hati ..:-) disamping dukungan yang juga tidak bisa dikatakan kecil.

Untuk memulai langkah pertama, orang-orang itu ingin menjalankan atau ‘menegakkan’ sesuatu yang disebut sebagai sebuah ‘sistem’.

Ada sistem di Oswah, Madin, LPM, MI, MTs, MA dan sebagainya dan mau tidak mau langkah semacam ini menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai pihak, memakan beberapa ‘korban’ dan menimbulkan kesan ‘galak’, ‘sangar’, membatasi kebebasan, melanggar HAM dan sebagainya. Ambillah contoh agenda imtihan sebagaimana tercantum dalam kalender akademik baik dari segi waktu, persyaratan dan tetek bengek yang mungkin dirasa merepotkan.

Ada juga program Qira’atul Kutub Asrama-yang akan diaktifkan pasca imtihan- sebagai program Oswah yang diback-up penuh oleh Madin dan Ma’had ‘Aly juga secara otomatis mengurangi istirahat dan waktu luang setiap individu yang ada di sini. Di sini, penulis atas nama pribadi ingin mengatakan “ Tidak !”.

Sebuah sistem dibuat dan dijalankan dibuat bukan untuk membatasi gerak dan kreatifitas semuanya, tapi untuk menuju satu muara yaitu Wahid Hasyim yang lebih baik. Juga sebagai bentuk tanggungjawab atas amanah yang dibebankan kepada mereka. Ya, amanah; sebuah hal yang langit dan bumi pun menolak untuk memikulnya. (QS Al Ahzab: 72).

Akhirnya, marilah, pada awal tahun baru ini kita mentajdid an-niyyat sambil berintrospeksi diri untuk membuat skenario kehidupan menuju kondisi yang lebih baik. Orang-orang terdahulu (mutaqaddimun) pernah bermimpi bertemu Rasulullah saw. Kemudian dia bertanya :” Wahai Rasulullah, berilah kami wasiat !”. Rasul menjawab: “ Siapa yang hari ini sama dengan kemarin-tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik- maka ia adalah orang yang tertipu. Dan siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka ia adalah orang yang terlaknat”. (Latha’if al-Ma’arif: I/300).

Jadi, nikmatilah apa yang ada di hadapan kita dan berusahalah untuk berbuat yang terbaik. Life is not problem must be solved but it is reality to be enjoyed. Nuwun.

Buletin Damarsantri
Yayasan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta
Jl. K.H. Wahid hasyim Gaten Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta
http://damarsantri.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar