Bunga Hari Ibu

Jumat, 08 Januari 2010

Bunga Hari Ibu
“Ya... tanaman ini membutuhkan kasih sayang tulus ibu..!!”
Oleh Rizqi Abdullah

Ketika ayahku sakit dan kemudian dengan tenang pergi meninggalkan ibu, aku dan adikku, pikiran pertama yang menghantuinya adalah tentang masa depan keluarga kami. Dulu, Umurku enam tahun, dan adikku, Dani, baru berumur empat tahun. Dalam benak setiap orang, bisakah ibu membahagiakan kami dan membuat kami merasa memiliki sebuah keluarga? Bisakah ibu sebagai orang tua tunggal, mempertahankan rumah dan mengajari kami tentang akhlakul karimah yang akan sangat dibutuhkan kami di dunia dan akherat. Ibu hanya tahu bahwa ia harus mencoba.

Setiap minggu, ibu selalu mengajak aku dan Fahri pergi ke toko buku, ke pesantren-pesantren, kemudian ke pengajian-pengajian dan ceramah, dan banyak hal lain yang membuat kami lebih mengerti siapa itu Allah. Setiap pagi, ibu selalu memasak dua masakan, makanan yang biasa dan masakan yang spesial. Sebagai syarat agar kami boleh memakan makanan yang spesial adalah kami harus bangun tepat jam lima pagi, kemudian shalat shubuh, baca Al Qur'an, dan sudah mandi. Kalau tidak, kami tidak akan diperbolehkan makan makanan yang spesial. Kadang, ibu juga meluangkan waktu untuk memeriksa tugas sekolah kami, dan jika kami sudah beres dengan tugas, ibu akan memberi uang jajan tambahan, walaupun ibu tahu bahwa pekerjaan kami banyak yang salah. Kemudian, ibu membahas mengapa kami harus melakukan hal yang benar. Hal ini memakan waktu dan tenaga ibu, padahal ibu hanya memiliki waktu yang sedikit. Dan yang lebih buruk lagi, ibu tidak mengetahui apakah kami mengerti apa yang ia ajarkan.

Pada Hari Ibu, ketika kami berjalan memasuki masjid agung untuk mengikuti ceramah, kami melihat dua kereta dorong berisikan pot-pot tanaman bunga yang indah di depan masjid. Di tengah-tengah ceramahnya, sang ustadz memberitahu bahwa menurutnya peran seorang ibu adalah salah satu pekerjaan paling sulit dalam hidup dan layak mendapatkan pengakuan serta penghargaan. Sang ustadz kemudian meminta setiap anak untuk maju dan menuju ke kereta dorong yang ada di halaman masjid kemudian memilih satu pot bunga yang indah kemudian mempersembahkannya kepada ibu mereka sebagai tanda betapa besar kami dicintai dan dihargai oleh ibu. Aku dan adikku, dengan bergandengan tangan, berjalan menuju latar masjid bersama anak-anak lain. Kami bersama-sama mempertimbangkan tanaman mana yang akan kami berikan pada ibu. Ibu telah melewati beberapa masa sulit, dan penghargaan kecil ini memang sesuatu yang dibutuhkan ibu.

Sekilas, aku menatap sosok ibu. Ibu melempar senyum ketulusan. Dan aku membalasnya dengan tersenyum malu. Aku menatap sekuntum bunga violet ungu yang indah. Dalam benakku, ibu pasti berfikir bahwa kami akan memberi bunga yang sangat indah dan penuh arti sebagai tanda cinta kami.

Kami menjalai tugas dengan cukup serius. Lama setelah anak-anak lain kembali semua dan memberi bunga pada ibu mereka bunga yang indah, kami masih memilih-milih. Ibu terlihat penasaran. Akhirnya, sambil berteriak gembira, kami menemukan pilihan di bagian pojok kereta. Dengan senyum cerah yang menerangi wajah, kami berjalan kembali ke tempat duduk di ikuti banyak pasang mata yang mengamati kami. Ibu terpaku keherana menatap batang tanaman bunga yang tampak kurus, kering, berpenyakit, yang disodorkan oleh kami. Bukan hanya ibu yang heran, semua orang yang hadir juga. Termasuk sang ustadz. Ada sedikit kekecewaan dalam benak ibu. Dengan perasaan malu ibu menerima pot bunga itu. Kami memilih tanama bunga yang paling kecil, tak sehat, bahkan tak memiliki kuntum bunga.

Ibu menunduk dan memandang wajah kami. Ibu melihat ada segores kebanggaan kami pada plihan itu. Ibu semakin tak mengerti. Dan karena mengetahui betapa lamanya waktu yang kami gunakan untuk memilih, ibu tersenyum dan menerima hadiah kami. Tapi kemudian, sang ustadz mendekati kami lalu berkenalan dengan ibu, aku dan Dani. Sang ustadz bertanya padaku. “Mas Alvin, dari sekian banyak pot bunga yang indah, kenapa Alvin ngasih tanaman yang kecil, kurus dan tidak begitu indah itu sama ibu?” tanyanya penuh keheranan. Ibu dan semua orang juga penasaran. Dengan penuh kebanggaan, aku mengatakan, “ Yang ini kelihatannya membutuhkanmu, Ibu...”. “Ya... tanaman ini membutuhkan kasih sayang tulus ibu..!!” lanjut Dani. Dengan wajah basah oleh linangan airmata, ibu memeluk kami berdua erat-erat. Semua orang yang hadir juga terharu mendengar jawaban kami. Termasuk sang ustadz.

Lama setelah setelah ibu memeluk kami, dengan nada haru, ibu berkata, “ Kalian baru saja memberi ibu hadiah Hari Ibu yang tak pernah ibu bayangkan. Kerja keras serta pengorbanan ibu tidak sia-sia. Kalian akantumbuh menjadi orang baik.” lalu ibu memeluk kami lagi. Sangat lama.

0 komentar:

Posting Komentar