The True of Santri, Menjadi Santri Sesungguhnya
Menjadi Santri Yang Sesungguhnya
Oleh : Kang Basith Ab
“Siapakah aku ?”, sebuah pertanyaan yang mungkin jarang kita tujukan pada diri kita sendiri, padahal sebuah “hadis” (ada yang mengatakan bukan hadis, tapi ucapan Yahya bin Mu’adz ar-Razi) mengatakan: “ Siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.” Jika sekarang pertanyaan itu ditujukan pada kita sekarang, maka salah satu alternatif jawabannya adalah “SANTRI”, karena kita tinggal di pondok pesantren. Lalu, siapakah santri itu? Apakah kita sudah benar-benar menjadi dan sikap kita mencerminkan bahwa kita adalah “SANTRI” ?
SANTRI, jika kita perhatikan, kata ini terdiri dari lima huruf yaitu S-A-N-T-R-I. Jika kita otak-atik gatuk, maka setiap huruf itu mempunyai makna yang dalam. Mari kita lihat satu persatu. S adalah singkatan dari Salamatul Lisan, maksudnya adalah bahwa seorang santri harus menjaga mulutnya untuk tidak berkata hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebuah hadis menyatakan: ‘diantara kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.’ Nggosip, bicara ngalor ngidul tanpa adanya tujuan yang jelas adalah hal-hal yang harus kita minimalisir, begitu juga menjaga lisan kita untuk tidak menyakiti dan menyinggung perasaan orang lain. Jika kita renungkan, lebih lama manakah waktu yang kita gunakan untuk belajar, muthola’ah dengan waktu kita untuk ngobrol atau nggosip, ngrasani temenx atau ustadznya ?
Huruf kedua adalah A yang berarti amanah (trust). Orang tua kita, saudara, famili dan masyarakat tempat kita berasal telah menaruh kepercayaan besar pada kita bahwa kita di sini sedang mondok dan kuliah, sebagai santri sekaligus mahasiswa yang nanti ketika kita pulang pasti kita akan dituntut tentang apa yang telah kita peroleh di sini. Janganlah kita khianati amanah itu dengan bermalas-malasan dalam segala hal. Janganlah termasuk dalam adagium yang mengatakan: “ kuliah ga’ tau mlebu, demo ga’ tau melu, ngomong ora mutu, ngaji malah turu.” Naudzubillah min dzalik.
Niyyyatun Shalihah, adalah singkatan dari huruf N yang berarti niat yang benar. Penulis yakin ada banyak alasan kita tinggal di pondok dan sekaligus kuliah. Dari pada nganggur di rumah, belum mau bekerja, kemauan orangtua, mencari pasangan hidup, belum siap untuk menikah atau dinikahkan adalah sedikit motif atau niat kita berada di Jogja, khusushon di Wahid Hasyim ini. Bukan karena semua itu kita berada di sini !!! kita di sini adalah untuk me ’rekayasa sejarah’ kata Pak Amin Abdullah atau kata Ziauddin Sardar hingga kita dapat menemukan dan mengetahui ‘sejarah masa depan’ kita. Rekayasa masa depan yang cerah itu kita persiapkan dengan berthalabul ilmi dan ngangsu kaweruh di Wahid Hasyim tercinta.
Huruf keempat adalah T yang berarti Tawadlu’ (rendah hati), tidak sombong, mengakui kekurangan pribadi hingga kita selalu berproses untuk menjadi yang terbaik. Karena, jika kita merasa telah menjadi sempurna maka segala kejelekan kita akan tampak. Seorang penyair Arab mengatakan “ Idza tamma al-amru bada naqshuhu…..” (jika sebuah hal itu sempurna maka akan tampak kejelekannya).
Riyadlah adalah singkatan dari R yang berarti prihatin. Maksudnya adalah sebagai santri kita siap untuk melatih dan membiasakan hidup dalam keadaan yang tidak mengenakkan, juga tahan untuk tidak menuruti segala keinginan hawa nafsu. Ketika pagi hari yang dingin dan enak untuk terus bermimpi, bel berbunyi mengajak kita untuk mengaji. Setelah itu ketika kita akan mandi wa akhawatihi pun harus antri. Ketika sore setelah lelah seharian di kampus dengan berbagai tetek bengeknya, kita sudah dibel lagi untuk ngaji lagi sampai malam mulai larut, belum kegiatan-kegiatan yang lain selain itu. Sungguh, tidak mengasyikkan, membosankan dan membuat kita makan hati jika kita tidak menerima semua itu. Itulah Riyadlah ! Pada zaman dulu, lihatlah induk ayam yang rela untuk riyadlah dengan tidak makan, minum dan beranjak dari tempatnya selama 21 hari hanya untuk menetaskan telur-telurnya. Apa jadinya jika induk ayam itu tidak mau riyadlah, tentunya speciesnya akan musnah karena telur-telurnya itu telah habis kita makan.
Dan sebagai inti yang harus mendasari keempat hal di atas adalah I yang berarti ikhlas, sebuah rasa ketulusan dan kesadaran yang tinggi untuk tunduk dan patuh pada sistem yang ada dan mengikat kita di pondok kita. Berangkat ngaji tanpa menunggu bel berbunyi, berangkat tepat waktu, tidak meminta pulang sebelum jam berakhir adalah sedikit bukti keikhlasan kita untuk menerima konseksuensi kita sebagai seorang santri di Wahid Hasyim ini. Sudahkah kita berhak untuk mendapatkan gelar The True of Santri ? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Nuwun.
0 komentar:
Posting Komentar