Sesakku
By Nisa_WeHa
“UHHHHHH!!!!!!!!!!!” Entah sudah pada hitungan berapa ratus kali aku mengeluh kata yang sama dengan berbagai masalah yang aku hadapi disini. Di tempat yang sama sekali tak kuharapkan sama sekali. Bahkan, tak pernah aku bayangkan sama sekali sejak aku lahir kedunia yang dulu sangat indah hingga detik dimana duniaku kini seperti neraka. Meskipun aku belum pernah tahu seperti apa neraka itu, tapi duniaku kini serasa membunuhku, membunuh kebebasanku, kemerdekaanku, kebahagiaanku, dan duniaku.
Neraka ini kurasakan sejak aku harus pergi dari tempat kelahiranku menuju Yogyakarta, yang kata orang adalah kota pelajar dan kota budaya. Kenapa mereka bisa menyebut seperti itu? Padahal bagiku kota ini adalah neraka bagiku. Kenapa? Karena sejak kepindahanku ke kota ini semua kebahagiaanku terrenggut oleh orang-orang bahkan instansi yang takkan pernah bisa menjamin kebahagiaanku. Setelah sekian lama kebencianku kian menumpuk. Aku benci dengan keadaan ini.
Aku pikir aku sudah dewasa, ya, umurku sudah lebih dari 17 tahun, bahkan bulan agustus ini aku akan menginjak umur 18 tahun. Bukankah aku sudah bisa dibilang dewasa? Paling tidak aku bukanlah nak ingusan lagi yang hanya bisa menangis dan merengek. Namun, disini aku bagaikan anak umur dua tahun yang tidak bisa apa-apa. Anak yang baru bisa merangkak dan sedang belajar menapakkan kakinya untuk berjalan. Bahkan masih harus dijaga dan dipegangi oleh ayahnya untuk berjalan hanya sekedar mengambil mainannya yang ada diatas meja ruang tamu. Uhh..., sungguh memuakkan.
”Aku bukan anak kecil lagi!!! Aku sudah dewasa!!!”, itu yang ingin selalu kuteriakkan sekeras-kerasnya agar mereka tahu semua yang menyesakkan dadaku. Tapi aku tak pernah bisa berteriak sekencang-kencangnya karena aku tahu itu takkan pernah bisa mengubah segalanya dan aku akan tetap disini, di nerakaku.
Ini dimulai sejak aku lulus dari SMA, masa-masa yang seharusnya dinikmati oleh semua orang karena kini ia telah dianggap dewasa dan bebas menentukan pilihannya sendiri. Namun apa yang terjadi padaku? Semua argumentasi itu salah dan terpatahkan oleh kenyataan buruk yang terjadi padaku. Orangtuaku justru sangat mengontrolku, mulai dari jurusan dan universitas yang harus aku pilih dan ambil ketika akan meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Semula aku mempunyai cita-cita dan keinginan untuk mengambil jurusan sastra Inggris di UI, tepatnya di Depok. Keputusan inipun tak ku ambil tanpa perhitungan sama sekali. Aku berpikir aku bisa senang disana karena di sana aku memiliki banyak saudara, teman dan keluarga, dan sudah ada saudara yang bersedia memberikan tempat untukku tempati selama kuliah di sana. Bahkan aku sudah membuat peta alur hidupku jika aku kuliah disana, mulai dari awal masuk, kapan selesai mengambil materi, kapan skripsi, bahkan aku sudah berpikir tentang tema skripsiku, kapan aku kerja, dimana aku kerja, dan cita-citaku yang lain. Dan semua itu kandas ketika ibu dan bapak melarangku untuk kuliah di tempat yang aku inginkan. Tidak hanya ibu dan bapak, bahkan mbak dan adikku yang belum tahu menahu tentang kuliah ikut melarangku untuk tidak kuliah di UI. Mereka sangat bersekongkol untuk menghancurkan cita-citaku. Air di samudra Hindia takkan bisa mewakili airmata kesedihanku karena hancurnya cita-citaku dan kebebasanku. Sehari-semalam aku tidak bisa berhenti untuk menangisi kehancuranku. Tak sesendok nasipun yang bisa ku telan kedalam perutku. Aku merasa hancur.
Aku merasa hancur. Dalam kehancuranku, aku tetap berpikir untuk bisa mendekati cita-cita awalku. Dan kini aku sudah menemukan jawabannya. Aku akan menjadikan ini persyaratan wajib jika aku harus menuruti permintaan ibu dan bapak untuk meneruskan menuntut ilmu di Yogyakarta.
”Untuk apa kamu kuliah di UI, terlalu jauh, engko sapa sing arep njaga koe, nduk?adoh saka wongtua, pergaulan kota iku wis bebas, ora kaya neng desa. Wis, saiki koe kudu manut karo bapak ibu, Nisa entuk kuliah tapi neng Yogyakarta titik”,itu kata-kata yang ibu ucapkan padaku. Alasan apapun takkan bisa menggoyahkan keputusan ibu. Itu sudah menjadi keputusan mutlak dan tak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
”Nggih sampun, bu. Jika itu permintaan ibu dan bapak, tapi Nisa tetap minta jurusan yang sama jika nanti kuliah di Yogya. Itu saja permintaan Nisa karena Nisa tahu keputusan ibu tidak bisa diubah lagi.” akhirnya aku mengalah pada keputusan ibu.
”Yo, ora opo-opo sing penting Nisa kuliah neng Yogya.” Akhirnya selesai urusan ini.
Namun tanpa kuketahui ini bukan akhir tapi awal dari kehancuranku. Setelah aku lolos dalam tes seleksi penerimaan mahasiswa baru di salah satu universitas di Yogyakarta dengan jurusan yang sama seperti cita-citaku sebelumnya, sastra Inggris. Tapi disini aku akhirnya mengambil pendidikan karena ini juga keinginan ibu-bapak. Aku hanya menurut apa saja keinginan mereka. Hingga tempat tinggalpun mereka yang menentukan.
Kau tahu tempat tinggal apa yang mereka siapkan untukku?apakah tempat indah seperti hotel? Boro-boro memilihkan tempat indah seperti itu. Apakah kos-kosan yang dihuni oleh satu orang saja? Sekali lagi, itu juga bukan! Entah kenapa nasib malang ini menimpaku. Aku tinggal di pondok! Ya, PONDOK! Kenapa aku menulisnya dengan huruf besar semua? agar kalian tahu perasaan ketidaksukaanku pada kata ini.
”Satu kamar ada berapa anak, mba?” tanya ibu ketika kami melakukan survey ke salah satu pondok yang ada di Yogyakarta.
”Setunggal kamar menika wonten lare wolu, bu. Saniki wonten kamar ingkang tesih kekirangan lare. Ibu badhe mriksane saniki menapa kados pundi?”tanya mba pengurus dengan sangat sopan pada ibu.
”Yo-yo, saiki wae, biar sekalian. Biar besok Nisa bisa langsung pindahan.” jawab ibu. Ibu benar-benar ingin mengusirku dari rumah dan segera menitipkanku pada panti ini, entah panti asuhan atau panti jompo. Aku sangat sedih memikirkannya. Dan benar, paginya aku benar-benar boyong dan baru merasakan mimpi burukku
Di pondok ini aku harus tinggal berdesak-desakan dengan tujuh santri lainnya. Coba bayangkan! Satu kamar dihuni oleh delapan kepala yang berisi delapan otak, delapan hati dan delapan kepribadian yang berbeda berarti aku harus bisa menerima dan menyesuaikan mereka semua, lingkungan baruku.
Apa yang kau bayangkan ketika kau mendengar kata PONDOK? Kotor? Jorok? Ribut? Berisik? Peraturan yang ketat dan mengikat? Jadwal ngaji yang padat? Dan berbagai agenda lain. Itu juga yang menjadi hantu dalam pikiranku dan membuatku bertambah stres memikir kannya. Belum lagi kesibukan kuliah, tugas kuliah, organisasi kampus. Untuk yang terakhir ini aku takkan mungkin meninggalkannnya karena ini sudah menjadi darah dan daging dalam tubuhku yang takkan bisa kulepaskan. Jika aku memaksanya lepas dari hidupku maka aku takkan bisa hidup tenang.
Kau tahu apa yang kurasakan dari pondok yang aku tinggali sekarang? Mungkin tidak jauh beda dengan dugaanku sebelumnya. Walaupun ada yang melenceng dari perkiraanku. Pondok ini tidaklah kotor dan jorok. Mungkin karena semua penghuninya adalah anak kuliah yang menurutku sudah dewasa dan bisa menjaga kebersihan diri dan lingkungannya.
Namun untuk dugaanku yang lain tentang pondok memang sangat benar. Ini yang membuatku serasa di neraka. Sampai sekarang aku masih berpikir, kenapa bisa terdampar di tempat seperti ini.
Tempat yang penuh dengan peraturan yang mencekik leherku dan membuatku sulit bernafas. Semua membuatku sesak. Pulang tidak boleh melebihi jam setengah enam, malam jum’at harus mujahaddah, malam minggu yang biasanya aku habiskan untuk bersenang-senang dengan teman-temanku kini aku harus membaca Qur’an satu juz, apalah itu namanya muqaddaman atau apalah namanya, setiap malam harus ngaji, bangaun tidur ngaji, mau kuliah ngaji, pulang kuliah ngaji, dan mau tidur pun ngaji, ngaji dan ngaji. Tak ada waktu tanpa ngaji. Dan akhirnya sudah berkali-kali hukuman yang aku terima, seperti sekarang ini. Aku harus membersihkan kamar mandi karena aku pulang lebih dari jam setengah enam, ini bukan tanpa alasan tapi aku punya alasan yang kuat sehingga aku pulang telat.
”Uhhh....!!! sebel!”, aku mengeluh lagi. Tanganku sudah merasakan capek menyikat kamar mandi.
”Nduk, nanti kalau sudah selesai ke kamar mba ya! Mba mau ngomong.” tiba-tiba mba Nella, ketua asramaku, sudah ada di depanku.
”Nggih, mba.” jawabku pasrah, pasti aku akan mendapat kuliah gratis seperti biasanya.
Aku segera bergegas mencuci tangan-kaki dan segera menuju kamar mba Nella yang berada di sebelah kamarku.
”Assalamu’alaikum, mba”, ucapku. Aku masuk dan duduk di sebelah mab Nella. Sepertinya mba Nella sudah menungguku lama. Mba Nella tersenyum dan terlihat sangat ramah. Ya, dia adalah sosok yang dikagumi dan dihormati di asramaku karena kedewasaannya, kebijaksanaannya, dan kelembutannya.
” Rene, nduk. Kesel yo? Wis ngunjuk es dhisik iki, men keselle ilang”, mba Nella memberiku es jeruk kesukaanku. Hmm, mba Nella benar-benar baik. Aku meminum es yang diberikannya, mba Nella menungguku hingga aku lega dan hausku hilang.
” Nduk, ngopo kok telat meneh?” tanyanya dengan lembut.
” Mba, Nisa ikut seminar dan seminarnya itu ternyata sampai sore dan Nisa kan jalan, sedangkan kampus Nisa jauh dari pondok jadi mau gak mau Nisa tetap harus telat walaupun sudah berjalan secepat apapun,” terangku dengan panjang lebar.
” Iya nduk, mba paham dan ngerti situasi yang dialami Nisa ,tapi hukum tetap harus dijalankan karena negara tanpa hukum maka akan hancur oleh dirinya sendiri, seperti pondok ini jika tidak ada peraturan dan hukuman untuk para pelanggar, pondok akan hancur oleh warga pondok itu. Menurut nduk Nisa untuk apa negera ada peraturan dan hukum?” kini mba Nella balik bertanya padaku. Tatapannya adaku sungguh hangat, seperti tatapan bunda ada anaknya.
” Hukum itu untuk menciptakan ketertiban, Mba,” jawabku singkat.
”Nah,iku wis ngerti to? Peraturan itu sebagai sarana kontrol sosial biar pondok tertib, tenteram, aman, nyaman, dan ngajinya juga tidak terganggu dan juga biar tujuan kita semua disini dapat terwujud semua.Ya to, nduk?” terang Mba Nella.
”Nggih, mba.” aku hanya bisa mengangguk mengiyakan mba Nella karena menurutku benar sekali kata mba Nella. Selama ini persepsiku salah. Menurutku peraturan itu ada untuk dilanggar, untuk apa ada hukum jika tidak ada yang melanggar, untuk apa ada penjara jika tidak ada pelanggar. Namun, ternyata adanya penjara dikarenakan adanya orang yang melanggar hukum bukan sebaliknya.
” Nduk, menjalankan peraturan itu tidak sulit, asalkan kita ikhlas dalam menjalankan semuanya pasti akan mudah dan dimudahkan segala urusan kita oleh Alloh, iya kan?” mba Nella berhenti sejenak, menatapku dengan penuh kasih sayang.
”Kuncinya ikhlas Lillahi ta’ala, ngaji iku dudu mung amarga peraturan nanging kanggo ngarepke ridhone Gusti Alloh. Gusti Alloh tidak membutuhkan amalan kita untukNya tapi seharusnya kitalah yang membutuhkan semua itu.” mba Nella diam,membiarkanku berpikir sejenak.
”Nggih, Mba,” hanya kata itu yang bisa aku ucapkan. Aku sangat merasa bersalah, bersalah pada diri sendiri, pada pondok, pada orangtua, dan juga pada Alloh. Astaghfirulloh, maafkan aku.
Mulai sekarang aku bertekad untuk memperbaiki diri. Aku akan jadi orang baik. Terimakasih Alloh, Kau telah menempatkanku di padang ilmu ini, di istana kasih-Mu ini.
Buletin Damarsantri
Yayasan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta
Jl. K.H. Wahid hasyim Gaten Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta
http://damarsantri.blogspot.com/
Link (Sambungan Kabel)
Damarsantri di Milis Yahoo! Groups
Komentar Terakhir
Download Damarsantri
Gabung di Mailing List Damarsantri
Buletin Damarsantri
Alamat Redaksi :
Sekretariat Redaksi : Yayasan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Jalan. KH. Wahid Hasyim Gaten Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta 55283 Telephon (0274) 484284.
Email Redaksi : damarsantri@yahoo.com, oswah@journalist.com
Email Redaksi : damarsantri@yahoo.com, oswah@journalist.com
Sesakku
Jumat, 28 Agustus 2009
Diposting oleh Buletin Damarsantri di 06.34
Label: Damarsantri Edisi 6, Sastra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar