Mahalnya Sebuah Kesadaran

Jumat, 28 Agustus 2009

Mahalnya Sebuah Kesadaran
Ilmu dalam artian tidak hanya sebatas tahu, tapi bagaimana kita bersikap, berbuat dan mengambil faedah dari rasa tahu itu

Oleh Kang Basith Ab

Imam Khalil al-Farahidi-guru Imam Sibawaih, sesepuh ilmu Nahwu-pernah mengatakan: “ Tipe orang itu ada 4 (empat): (1)-Orang yang tahu dan ia tahu akan ketahuannya itu (rajulun yadri wa yadri annahu yadri)-ia adalah orang ‘alim maka belajarlah kepadanya, (2)-Orang yang tahu tapi ia tidak tahu akan ketahuannya itu (rajulun yadri wa la yadri annahu yadri)-ia adalah orang lalai maka ingatkanlah, (3)-Orang yang tidak tahu dan ia tahu akan ketidaktahuannya itu (rajulun la yadri wa yadri annahu la yadri)-ia adalah orang yang bodoh, maka ajarilah dan (4)-Orang yang tidak tahu dan ia tidak tahu akan ketidaktahuannya itu (rajulun ya ladri wa la yadri annahu la yadri)- ia adalah orang yang idiot (kumprung.jw) maka jauhilah.

Empat tipe manusia di atas mesti ada dalam setiap komunitas tempat kita berada, tentu dengan konteksnya masing-masing. Penulis yakin, maqalah yang sudah berumur 1000 tahun yang lalu itu masih revelan dengan kondisi kita sekarang ini. Marilah kita cermati, renungkan dan meraba diri kita masing-masing, termasuk tipe manakah kita dan sudahkah kita melakukan hal yang semestinya lakukan ?

Dari keempat tipe di atas, idealnya kita harus menjadi tipe pertama, kalau tidak minimal tipe ketiga. Mengapa demikian? Kata kuncinya adalah ’kesadaran’ atau ’rumongso’ (Jw), sadar akan ketahuan, ketidaktahuan maupun sadar akan eksistensi kita sebagai seorang santri. Bagaimana jadinya kalau setiap individu lebih mengedepankan ego-nya? Tahu dan sadar akan diri sendiri, siapa saya, apa yang harus saya perbuat, mengapa saya tidak boleh begini dan begitu adalah kunci untuk menciptakan sebuah kondisi yang harmonis dan nyaman di lingkungan tempat kita berada. Penulis merindukan sebuah suasana dimana pondok ini dan lembaga-lembaga yang bernaung di bawahnya tidak hanya disibukkan dengan penanganan pelanggaran tata tertib, norma, etika dan apapun namanya. Alangkah sangat tidak mengenakkan bila untuk menjadi seorang santri Wahid Hasyim yang patuh dan taat kita harus terlebih dahulu berhadapan dengan para "algojo" pondok.

Seringkali saya mendapat laporan atau kabar-kabar dan kadang melihat sendiri hal-hal yang tidak mengenakkan hati, baik dari santri putra maupun putri. Sebagai contoh kecil, tidak hanya sekali dan beberapa hari ini saya melihat Pengasuh sudah rawuh untuk ngaji pagi sementara hanya beberapa santri yang sudah datang dan suatu hari saya lihat sendiri, tak satu pun santri putra yang ada di masjid, sementara beliau sudah rawuh. Jika dengan Pengasuh saja demikian, apalagi dengan ustadz-ustadz yang lain ??? Atau mungkin sudah banyak dari kita yang sudah mencapai "maqam ma'rifat", begitu bunyi sebuah pesan singkat pengasuh yang masuk ke mobile salah seorang pengurus. Tapi saya yakin dan selalu berhusnudhdhan bahwa mereka sedang lupa, terpeleset ke dalam tipe orang kedua. Tapi apakah selama itu kita akan berada dalam keadaan ini?

Akhir kata, marilah kita ngelmuni (meng-ilmu-i) diri kita masing-masing, ngelmuni madrasah dan ngelmuni pondok dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Ilmu dalam artian tidak hanya sebatas tahu, tapi bagaimana kita bersikap, berbuat dan mengambil faedah dari rasa tahu itu, laisa al-'ilmu an ta'rifa al-majhuul, wa laakin an tastafiida min ma'rifatihi , begitu kata Syeikh Musthafa as-Siba'i dalam bukunya Haakadzaa 'Allamatnia al-Hayaat. "Peraturan dibuat tidak untuk membatasi, tetapi untuk membiasakan apa yang sebenarnya harus dilakukan." Begitu bunyi salah satu email yang masuk ke redaksi DS. Ah, andai setiap kita bisa meresapi kata-kata ini,...mak nyuzzzz.... Nuwun.

Buletin Damarsantri
Yayasan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta
Jl. K.H. Wahid hasyim Gaten Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta
http://damarsantri.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar