Cinta tak Pernah Hilang
Ia harus menang melawan perasaannya. Ia harus gapai impiannya…
oleh: Alvin Firdausy
Jika cinta kita hanyalah keinginan untuk memiliki, hal itu tak bisa dinamakan cinta.
Kata orang, lebih baik pernah mencintai dan kehilangan cinta daripada tak pernah mencintai sama sekali.
Namun, kata-kata itu tak akan bisa menghibur Alvin, anak santri Pesantren Al IkhlasYogyakarta asal Banyuwangi. Ia baru saja diputus pacarnya, Annisa, anak santri pesantren Al Ikhlas yang juga berasal dari Banyuwangi. Tentu saja Nisa, begitu panggilannya, tak mengatakan segamblang itu. Ia berkata, “Aku benar-benar menyukaimu, Alvin. Aku mencintaimu. Tapi, tolong ngertiin aku. Ini untuk kebaikkanku, juga untuk kebaikanmu. Kau punya cita-cita, aku pun punya cita-cita. Kejarlah impianmu, aku pun akan kejar impianku.”
“Apa kau merasa bahwa hubungan kita hanya menjadi beban?” tanya Alvin.
“ Tidak. Sama sekali tidak.”
“Terus kenapa, Nisa?” Alvin mulai berang. Tapi ia mencoba untuk tenang. Ia tahu betul sifat Nisa.
“Baiklah, akan aku jelaskan. Kau tahu kan, aku ingin menjadi hafidzoh?
“Ya, aku tahu. Lanjutkanlah ceritamu.”
“Dulu, sebelum aku datang ke Jogja, ibu menasehatiku. Ibuku seorang hafidzoh, jadi beliau tahu betul tentang suka-duka disaat menghafal Kalam Allah. Ibu melarangku pacaran selama aku menghafal itu. Ibu membolehkan aku pacaran kalau sudah jadi seorang hafidzoh. Aku juga tak tahu mengapa ibu melarangku pacaran. Tapi yang aku tahu, itu pun dari ibu, cobaan yang paling berat saat menghafal adalah pacaran. Ibu tidak ridho jika aku menghafal tapi pacaran. Perkataan ibu adalah sabda bagiku. Tolong ngertiin aku, Vin”.
Alvin masih ingat betul kata-kata mantan kekasihnya itu. Ia dan Nisa sudah pacaran sejak kelas satu SMA. Tapi, kini ia diputus pacarnya. Sekarang, saat ia menjalani masa-masa kuliah yang indah, ia merasa kesepian. Tapi, ia tak bisa begitu saja menyalahkan Nisa. Di sisi lain, ia juga ingin memarahi Nisa yang telah membuatnya kesepian. Ia bingung. Selama tiga tahun mereka mempunyai teman-teman yang sama dan menghabiskan waktu di tempat yang sama. Pergi ke tempat itu membuat Alvin merasa hampa.
Latihan qira’ah di pesantren biasanya bisa membantu melupakan masalahnya. Sang pelatih menyuruhnya untuk latihan dan terus berlatih sedemikian rupa sehingga ia merasa kelelahan dan ia tak punya waktu lagi untuk memikirkan yang lain, termasuk Nisa. Tapi, belakangan ini, pikiran Alvin tidak tercurahkan pada latihannya. Sempat ia dimarahi habis-habisan oleh sang pelatih karena latihannya yang berantakan membuat semuanya juga ikut berantakan. Itu karena Alvin sangat dipercaya oleh sang pelatih karena bakatnya melantunkan ayat-ayat kauni-Nya yang maha indah.
Alvin tahu bahwa jangan sampai ia dibentak kembali oleh sang pelatih. Ia tak ingin mengecewakannya.
Saat ia hendak beranjak ke asrama, sang pelatih menghentikannya.
“Keluarga, sekolah, atau diputus cewek. Yang mana yang meresahkan hatimu? Tanya sang pelatih pelan.
Alvin diam. Ia bingung. Ia malu jika sang pelatih mengetahui masalahnya.
“Katakan saja, Vin. Biar bapak bisa bantu.” Sang pelatih mendekatinya.
“Diputusin cewek, Pak. Bapak bisa menebak juga.” Lanjutnya terus terang.
“Alvin, bapak sudah lama menjadi pelatih disini. Dan setiap ada anak-anak bapak yang hebat bermain kacau, pastilah salah satu dari ketiga alasan tadi yang menjadi penyebabnya.”
Alvin mengangguk.
“Maaf Pak, saya tak akan mengulanginya lagi.” Jawabnya sembari menundukkan pandangan.
“ Tahun ini adalah tahun yang sangat menentukan bagi kita, dan bagi dirimu tentunya. Tak ada alasan yang bisa menghalangimu untuk sukses pada lomba Tilawatil Qur’an di Solo besok. Tapi kau harus ingat, kau harus memusatkan perhatian pada yang benar-benar penting, tentang masa depanmu. Percayalah, kalau kau dan dia ditakdirkan untuk bersatu lagi kelak, pasti kan bersatu lagi. Tuhan yang akan mengatur semuanya. Sudahlah, dia juga mencintaimu kan?. Tak apa-apa untuk sementara.” Jelas sang pelatih.
Alvin tahu pelatihnya benar. Ia harus menang melawan perasaannya. Ia harus gapai impiannya membawa nama baik pesantrennya menjadi juara MTQ tingkat provinsi yang diadakan di Solo minggu depan. Tetapi, ia tetap merasa terluka. Tak ada lagi mentari yang menerangi kelam hatinya.
“ Aku geram, Pak. Tapi aku tak tahu harus memarahi siapa. Aku selalu setia padanya. Aku serahkan segalanya untuknya. Tapi, apa yang kudapat darinya? Apa?...”.Emosinya naik.
Si pelatih mengambil secari kertas dan bolpoin. “Itu pertanyaan bagus, Vin. Apa yang kau dapat darinya?”
Pelatih menyerahkan kertas dan bolpoinnya pada Alvin. “Ingat-ingat waktu yang kau lewatkan bersamanya dan tuliskan sebanyak mungkin hal-hal yang kau alami bersamanya. Yang menyenangkan maupun yang tidak. Lalu, tuliskan hal-hal yang kau pelajari darinya dan yang ia pelajari darimu. Bapak beri waktu satu jam”.
Pelatih meninggalkan Alvin sendirian di ruang latihan. Ia lungkrahkan tubuh kurusnya di kursi. Dan kenangan-kenangan indah bersama Nisa mulai membanjiri ingatannya. Ia ingat saat ia mengatakan cinta pertamanya untuk Nisa. Dan betapa senang hatinya kala Nisa menerima cintanya walau dengan syarat pacaran yang sehat dan sewajarnya. Kalau bukan karena dorongan Nisa, ia tak mungkin mahir dalam tilawah Al Qur’an.
Lalu ia kembali mengingat-ingat saat mereka bertengkar. Ia tersenyum. Sangat pias. Ia memang tak ingat semua penyebab pertengkaran mereka. Entah itu intern atau ekstern. Tapi, ia ingat betul bagaimana mereka menyelesaikan masalah mereka. Mereka yang memulai, maka mereka juga yang harus mengakhiri. Itulah prinsip mereka. Mereka selalu belajar menyelesaikan setiap masalah yang mereka hadapi tanpa menghadirkan emosi. Belajar kompromi, komunikasi, dan saling mengerti. Ia juga ingat bagaimana mereka baikkan kembali. Dan disaat seperti itulah yang sangat disukai mereka. Ia tersenyum lagi.
Alvin ingat saat-saat Nisa membuatnya merasa percaya diri, kuat, dibutuhkan, dan istimewa. Ia menulis kertas itu dengan pengalaman-pengalaman mereka yang indah, liburan bersama sahabat-sahabat terbaik mereka ke Bali, dan masih banyak lagi.
Sebaris demi baris ia goreskan pada secarik kertas itu. Dan pelan-pelan ia menyadari bagaimana Nisa telah membentuk hidupnya, ia akan menjadi laki-laki lain tanpa Nisa.
Saat pelatih kembali sejam kemudian, Alvin sudah tak ada di situ. Tapi, Alvin sudah meninggalkan catatan. Isinya sederhana :
Pak pelatih,
Terima kasih banyak atas pelajarannya. Saya rasa memang benar kata orang-orang bahwa lebih baik pernah mencintai dan kehilangan cinta daripada tak pernah mencintai seseorang. Dan cinta tak harus memiliki. Karena aku sudah memilikinya dalam hati. Sampai ketemu di latihan besok, Profesor cinta, hehe....^^
Link (Sambungan Kabel)
Damarsantri di Milis Yahoo! Groups
Komentar Terakhir
Download Damarsantri
Gabung di Mailing List Damarsantri
Buletin Damarsantri
Alamat Redaksi :
Sekretariat Redaksi : Yayasan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Jalan. KH. Wahid Hasyim Gaten Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta 55283 Telephon (0274) 484284.
Email Redaksi : damarsantri@yahoo.com, oswah@journalist.com
Email Redaksi : damarsantri@yahoo.com, oswah@journalist.com
Cinta tak Pernah Hilang Ia harus menang melawan perasaannya. Ia harus gapai impiannya…
Sabtu, 26 Desember 2009
Diposting oleh Buletin Damarsantri di 08.40
Label: Damarsantri Edisi 12, Sastra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar